Seputar Peradilan
Beberapa hari yang lalu, atas dasar disposisi Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia atas Surat Tim Asistensi Program Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 038-TA/MA/VIII/2024 tanggal 16 Agustus 2024, perihal Penyampaian Surat dari Direktur Divisi Asia American Bar Association Rule of Law Initiative dan Surat Izin Perjalanan ke Luar Negeri Nomor 1848/DJA/KP7.1/VIII/2024 Tanggal 23 Agustus 2024 dari Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, Ketua Pengadilan Agama Negara, PTA Bali, ibu Ratu Ayu Rahmi bersama dengan ibu Latifah Setyawati, Wakil Ketua Pengadilan Agama Wonosari, PTA Jogjakarta, melakukan perjalanan dinas ke luar negeri dalam rangka mengikuti konferensi Internasional tentang Hak-Hak Pernikahan Perempuan, yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 3 s.d. 7 September 2024.
Konferensi diselenggarakan oleh dilaksanakan di hotel Four Points by Sheraton di pusat kota Kuala Lumpur. Konferensi ini dihadiri oleh beberapa negara kawasan Asia, yaitu Malaysia, India, Srilanka, Nepal, Pakistan, Philipina dan Maldives serta Amerika sebagai negara basis penyelenggara konferensi. Kegiatan ini diselenggarakan ABA (American Bar Association), organisasi paralegal Amerika bekerjasama dengan Musawi, sebuah organisasi indpenden dengan kegiatan utama riset pada berbagai bidang yang berbasis di Pakistan.
Pada konferensi ini, delegasi Indonesia tidak hanya dari Mahkamah Agung, tetapi ada pula seorang delegasi dari LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) dan seorang dari KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia). Setiap peserta pada kongres ini membawakan presentasi tentang hal-hal menarik seputar hak perempuan dalam perkawinan, baik secara teori ataupun praktek yang terjadi di negara masing-masing. Konferensi ini juga menghadirkan seorang narasumber atau pembicara secara online, yaitu Ayesha A. Malik, seorang Hakim Agung perempuan dari Pakistan yang menyoroti tentang supremasi hukum Islam dalam bidang perkawinan bagi wanita muslim yang sebagian masih dalam tahap perjuangan agar dapat diterapkan secara holistic dalam hukum positif Pakistan.
Hadir secara offline adalah Dara Waheda, seorang manager dari organisasi Sisters in Islam dari Malaysia, Fatima Yasmin Bokhari, Kepala Eksekutif organisasi Musawi dari Pakistan, Fauzia Viqar dari Federal Ombudsman Pakistan, Huzaifa Mohamed, seorang Hakim Tinggi dari Maldives, Latifah Setyawati, Hakim Peradilan Agama Indonesia (Wakil Ketua Pengadilan Agama Wonosari), Mohna Ansari, Aktivis Hak Azasi Manusia dan Perempuan dari Nepal, Pera Soparianti mewakili KUPI dari Indonesia, Rabiya Javeri Agha dari Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dari Pakistan, Ratna Batari Munti dari LBH APIK Indonesia, Rozana Isa DIrektur Eksekutif Sisters in Islam dari Malaysia, Saman Rafat Imtiaz, Hakim Tinggi dari Pakistan, Sevim Sadaat, Direktur Program Musawi dari Pakistan, Shreen Abdul Saroor, pendiri Mannar, federasi pemberdayaan perempuan dari Srilanka, Syirin Junisya Mohd Ali dari organisasi Adia di Malaysia, Yasmin Busran Lao, Wakil Kepala Nisa ulHaq Bangsamoro dari Phillipina, Zainah Anwar, pendiri Sisters in Islam dan Musawah dari Malaysia, Zakia Soman, pendiri Bharatiya Muslim Mahila Andolan dari India, Zarizana Abdul Aziz sebagai Direktur Due Dilligence Project dari Amerika, Zulaikha Shihab sebagai coordinator advokasi hak perempuan Musawah dari Malaysia serta Ratu Ayu Rahmi, Hakim Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Konferensi ini adalah kesempatan yang baik untuk Indonesia menunjukkan eksistensi secara global, dan diskusi ini berjalan sangat dinamis terlebih karena bagi Indonesia sendiri, presentasi disajikan dengan menggunakan dua sudut pandang yang berbeda antara sudut pandang dari dalam Mahkamah Agung (pelaku peradilan, hakim pada Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan sudut pandang LBH APIK dan KUPI sebagai penggerak perkembangan hukum diluar Mahkamah Agung. Tetapi yang tidak kalah menarik adalah hal yag disampaikan negara peserta seperti India, Nepal, Srilanka dan Philipina ataupun Pakistan yang masih tengah berjuang untuk memperolah kesamaan, keberadaan dan pengakuan serta kesempatan memperoleh hak perempuan, antara lain dalam bidang pedidikan, kesempatan lapangan kerja, keamanan dan perlakuan yang humanis tanpa mengedepankan isu gender yang mengecilkan peran perempuan.
Berbeda dengan sebagian besar negara peserta, dua perwakilan dari Indonesia membawakan topik yang menggambarkan betapa dinamis perkembangan hukum di Indonesia terutama dengan telah hadirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum yang dinilai merupakan pencapaian luar biasa bagi negara peserta konferensi tersebut. Tidak hanya itu, Dr. Latifah dalam presentasinya yang berjudul The Efforts of The Supreme Court of Indonesia in Upholding Women’s Marital Rights in the Court juga menjabarkan tentang perkembangan sistem mediasi di Mahkamah Agung serta peningkatan layanan yang terus dikembangkan termasuk untuk kaum rentan. Sementara itu, Ratu Ayu Rahmi menghadirkan makalah dengan judul Protection of Women’s Marriage Rights in Indonesia yang lebih berfokus pada perkembangan perlindungan hak perkawinan perempuan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam rangkaian surat edaran tahun demi tahun yang menggambarkan betapa besar perhatian Mahkamah Agung terhadap perlindungan hak perempuan dan secara global dapat dilihat oleh negara peserta dinamika perlindungan hak perkawinan perempuan di Indonesia yang menginspirasi untuk diberlakukan di negara masing-masing.
Terakhir sebagai takeaways, seluruh peserta konferensi menyampaikan kesimpulan dan berharap diskusi semacam ini dapat terus dilaksanakan untuk memperkaya khazanah pergerakan perjuangan memperoleh perlakuan yang sama bagi perempuan di hadapan hukum di negara peserta dan membuka mata bahwa dalam konteks perlindungan hak perempuan dalam perkawinan di masing-masing negara peserta seluruh perwakilan merupakan para pejuang hak azasi manusia dan/atau hak perempuan meski dengan ruang lingkup yang berbeda satu sama lain.